MUBA || Metrosumsek.com — Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mitra Bersama Sejahtera (MBS) yang diduga bekerjaasama dengan PT. Sinar Mas melakukan penggusuran tanah petani seluas 6 hektare di Desa Pangkalan Bulian, Kec. Batanghari Leko, Kab. Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, pada Sabtu (01/12).
Berdasarkan laporan dari lapangan, seluas 800 hektar tanah petani akan di gusur.
Menanggapi ini, Widya Astin, Ketua Dewan Pengurus Cabang Serikat Petani Indonesia (DPC SPI) Banyuasin bersama pengurus SPI lainnya melakukan konsolidasi perjuangan ke lokasi secara langsung.
“Dari sekitar 6.000 hektar tanah konflik, setengahnya atau 3.000 hektar sudah dikuasai dan digarap petani dengan jumlah 600 kepala keluarga”, tutur Widya.
Konflik bermula dari kedatangan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Meranti melakukan sosialisasi pada tahun 2017 lalu. Inti dari sosialisasi tersebut untuk mengusir seluruh masyarakat tani dengan batas waktu 1×24 jam dari tanah garapan. Setelah itu petani melaporkan kepada Kepala Desa Lubuk Binti dan ditindaklanjuti Camat Batang Hari Leko.
Selanjutnya pada tahun 2018, Camat mengarahkan agar petani tetap mengelola dan menanami tanah garapan dengan catatan tidak boleh diperjualbelikan. Kemudian masyarakat menuruti arahan tersebut. Petani menanami tanah dengan tanaman sawit, jeruk, kelapa, tanaman pangan seperti jagung dan banyak tanaman lainnya.
Menurut Widya, sebetulnya tanah dan permukiman petani mulai terancam sejak 31 Mei 2023. Alat berat masih beraktivitas terus menerus dari wilayah Sungai Merah yang dikuasai Gapoktan MBS, sampai ke tanah dan permukiman petani SPI.
Selain Gapoktan MBS, petani SPI juga berkonflik dengan Gapoktan KHL (Keban Hijau Lestari). Keduanya mengklaim telah mendapatkan izin Perhutanan Sosial dengan total sekitar 1.500 hektar.
“Hal ini mengandung keganjilan karena posisi di lapangan Petani SPI yang menguasai, sementara di dug kuat kedua Gapoktan justru bekerjasama dengan perusahaan pihak ketiga”, terang Widya.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI), Henry Saragih, menilai bahwa konflik agraria di Pangkalan Bulian merupakan muara dari ketidakpastian pemerintah dalam menjalankan Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria.
“Petani yang sudah menguasai dan hidup di tanah perjuangan semestinya diprioritaskan. SPI juga melihat bahwa penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan masih rentan digunakan oleh korporasi untuk memperluas perkebunannya”, ujar Henry.
“SPI akan terus bertahan untuk membela hak atas tanah di Pangkalan Bulian, dan mengadukan potensi pelenggaran Hak Asasi Petani ke Komnas HAM. Juga ke Pemda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI”, pungkasnya
Rilis SPI