Keberadaan UU Cipta Kerja menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Salah satu klaster dalam UU Cipta Kerja yang dianggap kontroversial dan merugikan kepentingan masyarakat adalah klaster pertanahan, khususnya tentang Bank Tanah. Bank Tanah adalah badan khusus yang mengelola tanah, dan berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Bank Tanah hadir sebagai land manager yang berfungsi membentuk strategi pengelolaan tanah untuk dapat mengembangkan penggunaan tanah yang optimal. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa dengan terbentuknya Bank Tanah dapat menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan sehingga pada akhirnya berpotensi mengganggu kepentingan masyarakat Indonesia.
Dalam UU Cipta Kerja yang dimaksud berarti pendirian suatu lembaga baru memerlukan berbagai sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan terlebih dahulu agar lembaga tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Persiapan tersebut tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Hal ini berarti pengetiannya adalah perlunya anggaran belanja oleh Pemerintah Pusat. Adapun anggaran yang digunakan akan berasal dari kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jelas ini tidak efisien dan pemborosan.
Apabila dilihat dalam pasal-pasal mengenai Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja, sebagian besar tugas dan fungsi yang dijelaskan merupakan bagian dari lingkup kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut sebagai Kementerian ATR/BPN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik tentu harus berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yaitu meliputi :
– Asas Kepastian Hukum
– Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
– Asas Keterbukaan
– Asas Proporsionalitas
– Asas Profesionalitas
– Asas Akuntabilitas
– Asas Efisiensi
– Asas Efektivitas
“Asas Efisiensi Yang dimaksud dalam hal ini adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai hasil kerja yang terbaik”. Untuk itu pemerintah harus kita ingatkan terus supaya tidak terlanjur terjebak oleh suatu kebijakan yang lebih banyak merugikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, keberadaan Bank Tanah tidak efektif, tidak efisien, dan hanya menghabiskan anggaran negara.
Berdasarkan UUPA No. 5 Thn 1960, pada pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), memang dinyatakan bahwa seluruh tanah yang ada di Indonesia memiliki fungsi sosial dan pemerintah berhak melakukan pengadaan tanah demi kepentingan sosial. Akan tetapi, dalam pengaturan UU Cipta Kerja, belum ada kejelasan mengenai kriteria dan persyaratan bagi Bank Tanah dalam melakukan pengadaan dan pengelolaan tanah. Jenis dan macam tanah seperti apa saja yang dapat dikelola oleh Bank Tanah juga tidak diatur dalam UU Cipta Kerja. Ketidakjelasan tersebut dikhawatirkan menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Pemerintah melalui Bank Tanah memiliki kuasa untuk dapat mengambil tanah masyarakat, dengan dalih demi pengelolaan yang lebih berkembang. Hal tersebut tentu menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia.
Sebagai contohnya di Banyuasian, Sumsel konsep Bank Tanah yang baru saja di launching oleh kepala daerah apakah sudah dengan pertimbangan yang matang sebab pembangunan harus melihat manfaat rencana tata ruang wilayah antara lain :
– Mewujudkan keterpaduan pembangunan dalam wilayah kabupaten atau kota.
– Mewujudkan keserasian pembangunan wilayah kabupaten kota dengan wilayah sekitarnya.
– Menjamin terwujudnya tata ruang wilayah kabupaten atau kota yang berkualitas.
Wilayah yang dikonsepkan itu kan banyak pertani trans yang di khawatirkan apakah tidak menyinggung luasan lahan petani yang sudah di garap. Jangan sampai mengatasnamakan pembanguanan tapi malah merugikan rakyat kecil yang sudah menggantungkan hidupnya terhadap lahan tanah tersebut. Meskipun dengan mekanisme penggantian untung atas lahan.
Kapitalisme Modern Zaman Belanda dibangkitkan kembali oleh Konsep Bank Tanah sebagai penguasa dan pengelola tanah negara yang dinilai berpotensi menghidupkan kembali terjadinya Domein Verklaring yang pernah berlangsung pada zaman penjajahan Belanda. Adapun fungsi utama Domein Verklaring pada waktu itu adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah Belanda untuk memberikan hak-hak barat dan untuk mempermudah pemerintah Belanda mengambil tanah-tanah masyarakat berdasarkan hukum pembuktian yang legal. Isi Domein Verklaring pada intinya yaitu seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh pihak lain menjadi tanah domein milik negara. Saat ini, domein verklaring telah dicabut dan dihapus secara tegas dalam Undang-Undang Pokok Agraria Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960.
Widya Astin, S.Sos
Ketua Serikat Petani Indonesia Banyuasin