Oleh: Delviero Reaynaldo
OPINI— Jurnalis atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Wartawan adalah sebuah Profesi yang sudah ada sejak dahulu kala dan tetap eksis sampai saat ini di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Profesi Jurnalis adalah sebuah pekerjaan yang bisa dibilang sangat mulia, dimana profesi ini bergerak di bidang untuk mengelola dan penyebarluasan sarana Informasi kepada Publik.
Biasanya, Profesi Jurnalis banyak diminati dan diisi oleh para Kaum Intelektual yang memiliki nilai-nilai Idealis dalam kebangsaan.
Selain itu, Profesi Jurnalis sendiri adalah Profesi yang menjadikannya wadah dan corong bagi masyarakat dalam menyampaikan Aspirasi agar suaranya sampai dan dapat didengar dengan jelas oleh penguasa di Pemerintahan.
Tak heran, jika orang yang berprofesi sebagai Jurnalis memiliki begitu banyak Relasi di berbagai tempat. Hal itu dikarenakan, mereka Jurnalis dikenal suka membaur kepada semua lapisan masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang Jurnalis dibekali Etika dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada saat mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada Publik.
Terlebih, Profesi Jurnalis sendiri memiliki tugas dan wewenang Istimewa, yaitu diamanatkan sebagai petugas Kontrol Sosial dalam keberlangsungan sebuah kinerja di roda Pemerintahan.
Meski demikian, Jurnalis hanya dapat melakukan tugas yang sudah ditetapkan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan tidak memiliki wewenang diluar yang sudah ditetapkan dalam UU PERS No 40 Tahun 1999.
Diinformasikan, Profesi Jurnalis dan perusahaan Pers adalah dua lapisan saling bergandengan yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya memiliki ikatan seperti Gembok dan Anak Kunci. Saling berhubungan.
Perusahaan Pers dan profesi Jurnalis pernah berada di posisi puncak, dimana saat itu PERS mampu menjadikan profesi Jurnalis sebagai acuan dan menjadi pusat perhatian bagi masyarakat Indonesia yang ingin mencari sebuah pekerjaan.
Berjayanya perusahaan PERS media cetak saat itu, tak lepas dari tingginya minat konsumen dalam mendapatkan dan mencari sebuah informasi terpercaya. Sehingga, perusahaan PERS media cetak mampu mencetak ribuan Eksemplar koran dan mengalami peningkatan penjualan yang luar biasa.
Namun, seiring berjalannya waktu Media Cetak dan Media Masa di Indonesia dihadapkan dengan perubahan.
Dimana, dengan kehadiran Media Online yang termasuk dalam kategori media masa menjadi ancaman serius bagi media cetak.
Awal mula kehadiran Media Online di Indonesia, banyak pihak yang tidak mengakui dan tidak setuju atas hadirnya Media Online tersebut.
Bahkan, Media Online saat itu mendapatkan penolakan penerbitannya dari berbagai Organisasi Profesi Wartawan di Indonesia.
Hal itu disebabkan, Karena Media Online disinyalir dapat menjadi ancaman untuk merobohkan tata Media Cetak yang kebetulan saat itu memang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, bahkan Jurnalis yang bekerja di Media Online saat itu menjadi bahan cemoohan. Namun, Media Online tetap berada pada prinsipnya yang lahir di Era Digital.
Meski begitu, selang beberapa waktu. Media masa, termasuk Media Online yang sempat menjadi ancaman media cetak, kembali dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, yaitu hadirnya Platform Media Sosial.
Hadirnya berbagai Platform Media Sosial di Era Digital saat ini, diharapkan menjadi perhatian penting bagi Dewan PERS. Karena, dampak dari Media Sosial tersebut dikhawatirkan sangat berbahaya bagi keberlangsungan Profesi Jurnalis di Indonesia.
Pasalnya, Platform Media Sosial tersebut, lebih banyak dan menjadi acuan masyarakat dalam mendapatkan informasi. Hal ini tentunya membuat pengusaha PERS dan Insan Jurnalis kewalahan dalam menghadapinya.
Dimana, Platform Media Sosial yang bukan termasuk dalam bagian Media Masa itu selalu lebih dulu menyampaikan sebuah informasi dan dapat dengan mudah diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Pesatnya perkembangan sebuah teknologi di Indonesia, tentunya membuat masyarakat merasa senang, dengan harapan dapat mempermudah segala sesuatu pekerjaan masyarakat.
Namun, bukannya sekedar membantu untuk meringankan pekerjaan, hadirnya teknologi tersebut malah membuat sebagian Profesi yang ada di Indonesia merasa seperti Terjajah dan Terancam.
Oleh karena itu, dikhawatirkan jika tidak segera menemukan solusi yang terbaik sewaktu-waktu teknologi tersebut dapat merampas Hak kewarganegaraan Indonesia. Sehingga, masyarakat bukan merasa Merdeka akan tetapi merasa Terjajah.
Sebagai Informasi, Media Masa berbeda dengan Platform Media Sosial, dimana Media Masa dan Profesi Jurnalis/Wartawan di Indonesia mendapatkan perlindungan undang-undang No 40 Tahun 1999, dan memiliki 11 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) saat dalam menjalankan tugasnya sebagai pemburu berita.
Sedangkan, Media Sosial memiliki undang-undang ITE yang sewaktu-waktu dapat menjadi perangkap bagi diri sendiri. (R)