Jakarta | Jika tidak bijak dalam mutuskan perkara gugatan batas usia capres/cawapres dengan bikin gorong-gorong agar keponakan Ketua bisa nyusup ke bursa pilpres, maka MK ibarat main api neraka. Panasnya bisa nyengat ke pemilu 2024.
Pendapat ini disampaikan Adhie M Massardi, Ketua Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) kepada sejumlah anggota IWO (Ikatan Wartawan Online) yang kini dipimpin wartawan senior Ade Mulyana di Jakarta, Kamis (12/10).
Adhie menyatakan hal ini menanggapi isu bahwa Senin depan (16/10) Mahkamah Konstitusi akan memutus perkara gugatan Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang: “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Sebagaimana kita katahui, ada lebih dari 10 gugatan (judicial review)<span;> diajukan berbagai pihak ke MK terkait persyaratan batas minimal usia (40 tahun) untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden ini.
Menurut jubir presiden era Gus Dur ini, episentrum gonjang-ganjing batas minimal umur capres/cawapres ini ada di Istana. Ini trik muluskan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Widodo yang yang masih di bawah umur (36 tahun) agar bisa nerabas masuk bursa pilpres.
Asusila Politik
Gugatan terhadap UU yang batasi umur, dalam konteks jabatan apa pun, menurut Adhie, tidak masalah. Ini bagian dari berdemokrasi dan menghormati hak asasi manusia.
“Tapi jika langkah ini dipakai hanya untuk muluskan kepentingan satu orang, anak penguasa agar bisa masuk bursa pilpres, bisa disebut perbuatan political immoral (asusila politik) dan gugatan atas pasal itu dianggap memperkosa undang-undang,” tegas Adhie.
Political Immoral akan terasa lebih vulgar lagi jika publik bacanya dalam perspektif “dinasti”. Karena yang gugat PSI, partai pimpinan Kaesang anak Joko Widodo. Tempat gugatan MK yang ketuanya Anwar Usman, paman Kaesang, sedangkan hasilnya demi kepentingan Gibran, anak sulung Presiden, masuk bursa pilpres 2024.
Oleh sebab itu, kata Adhie, jika pada akhirnya demi hukum Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu, dengan mengubah batasan umur menjadi 21, 30, 35 atau bahkan menghapusnya dari UU Pemilu, tidak masalah, sepanjang itu berlaku untuk pemilu setelah ini, pemilu 2029.
Sebab dengan rentang waktu yang sangat pendek, tinggal beberapa hari jelang batas akhir pendaftaran capres/cawapres ke KPU, perubahan atas pasal pembatasan umur minimal calon presiden/wakil presiden ini tidak bisa berlaku bagi semua warga negara. Tidak equality before the law
“Karena yang paling siap itu hanya Walikota Solo Gibran, anak Presiden Widodo yang memang belakangan digadang-gadang untuk disusupkan menjadi bakal cawapres, kalau tidak dipasangkan dengan Ganjar Pranowo ya dengan Prabowo yang koalisi partainya sudah siap,” kata Adhie.
Neraka Politik Pemilu
Tokoh KAMI yang gencar ngampanyekan anti-korupsi dan pemilu bersih ini khawatir jika MK abaikan etika hukum dan politik dalam mutus perkara pasal umur capres/cawapres ini, dan menjadikan gorong-gorong bagi anak Widodo masuk bursa pilpres 2024, maka suasana politik sepanjang pemilu nanti akan menjadi neraka bagi demokrasi. Panas!
“Saya jengkel lihat sikap para petinggi parpol yang sangat pragmatis dan permisif dalam nyikapi perkara ini. Mereka tidak paham jika skenario nyelundupkan ‘anak di bawah umur’ ke bursa pilpres ini bakal jadi bara dalam sekam politik nasional,” tegasnya.
Adhie lalu ungkapkan kalkulasi politiknya. Begini.
Aparatus negara (pemerintah) yang masih dibelenggu mental “paternalistik feodalistis” akan nganggap anak presiden itu anak majikan. Anak bapak. Maka secara naluriah merasa wajib “ngamankan” jalan anak majikan. Segala cara pasti akan dilakukan.
Dengan suasana kebatinan aparatus negara yang demikian, maka jadi sangat mustahil pemilu berjalan jurdil, jujur dan adil. Prinsip fair play niscaya akan terbengkalai.
Ini belum selesai. Setelah pasangan yang ada anak presidennya dinyatakan menang, kira-kira siapa paling dominan jadi formatur kabinet? Bukan mustahil yang dominan dalam nyusun kabinet itu presiden eksisting, yang anaknya jadi wakil presiden terpilih.
Secara “etika keluarga” sah saja jadi “wali” karena anaknya masih di bawah umur.
“Menurut pengalaman saya, wakil presiden yang merasa punya kekuatan politik signifikan, apalagi jika lebih besar dari presidennya, akan terus digoda perasaan bahwa dirinya lebih pantas jadi presiden.”
“Jika situasi sudah seperti itu, maka tinggal nunggu waktu wakil presiden bertranformasi jadi presiden. Megawati hanya butuh waktu dua tahun untuk ngubah posisi dari wapres ke presiden, setelah secara politik sukses menggusur Gus Dur,” tutur Adhie.
“Satu hal yang banyak dilupakan orang, dan sialnya juga dilupakan para petnggi parpol, persyaratan untuk jadi wapres itu 100% sama dengan persyaratan untuk jadi presiden.”
Sebab meskipun nasib wapres bisa lebih buruk dari “ban serep”, tapi wapres menurut Konstitusi (diproyeksikan) setiap saat harus bisa gantikan posisi presiden. Maklum presiden kan bisa sewaktu-waktu berhalangan tetap. Atau dibikin tetap berhalangan, seperti pernah terjadi beberapa kali di negeri ini. (RILIS IWO)